Ada beberapa hal lagi terkait dengan masalah takdir yang perlu diingatkan seperti tidak boleh beralasan dengan takdir untuk berbuat maksiat, manusia masih punya pilihan, lalu hikmah diciptakannya Iblis, dan hikmah adanya musibah. Semoga jadi pelajaran berharga dari bahasan Syarhus Sunnah karya Imam Al-Muzani berikut ini.
Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,
لاَ يَمْلِكُوْنَ لِأَنْفُسِهِمْ مِنَ الطَّاعَةِ نَفْعًا وَلاَ يَجِدُوْنَ إِلَى صَرْفِ المَعْصِيَةِ عَنْهَا دَفْعًا خَلَقَ الخَلْقَ بِمَشِيْئَتِهِ عَنْ غَيْرِ حَاجَةٍ كَانَتْ بِهِ
Makhluk tidak mempunyai kekuasaan untuk mendapat manfaat dalam berbuat ketaatan, juga tidak mampu untuk menolak hal-hal yang bisa memalingkannya dari maksiat.
Allah menciptakan makhluk dengan kehendak-Nya, bukan karena Allah butuh pada makhluk.
Manusia Punya Pilihan
Masih menjelaskan perkataan Imam Al-Muzani, “Makhluk tidak mempunyai kekuasaan untuk mendapat manfaat dalam berbuat ketaatan, juga tidak mampu untuk menolak hal-hal yang bisa memalingkannya dari maksiat.”
Maksud perkataan di atas adalah manusia tidak bisa mendapatkan kebaikan atau tidak bisa lepas dari kejelekan kecuali apa yang telah Allah kehendaki untuknya.
Namun hal ini bukan maksudnya adalah kita mengatakan, “Selama Allah takdirkan pada ketaatan, maka kita memuji Allah atas nikmat tersebut. Lalu jika Allah takdirkan kita berbuat maksiat, kenapa Allah mau menghisab (menghukum) kita?”
Tidak seperti itu maksudnya. Yang dimaksud adalah Allah Mahatahu apa yang kita pilih. Tetap kita punya ikhtiyar atau pilihan untuk berbuat. Kita mengambil dan kita tinggalkan, semua atas dasar pilihan kita. Jadi kita dihisab karena pilihan kita sendiri.
Misalnya, manusia ingin melakukan ketaatan. Ia bertekad ingin bangun malam. Ia sudah melakukan persiapan dengan baik. Namun tiba-tiba ketika ia ingin bangun, ia sakit dan tak kuat untuk bangun malam karena kecapekan dan butuh istirahat. Orang seperti ini telah dicatat oleh Allah mengenai niatnya.
Sebaliknya ada yang ingin berbuat maksiat dan sudah bertekad untuk itu. Namun tiba-tiba ia tidak bisa melakukannya. Ia tetap dicatat melakukan maksiat tersebut walaupun belum melakukannya karena ia sudah punya niat yang kuat.
Demikian dibahasakan secara bebas dari penjelasan Syaikh Muhammad ‘Umar Salim Bazmul dalam Iidhah Syarh As-Sunnah lil Muzani, hlm. 40.
Dalil-dalil yang menunjukkan manusia punya pilihan seperti dalam ayat,
فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَىٰ رَبِّهِ مَآبًا
“Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabbnya.” (QS. An-Naba’: 39)
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”(QS. Al-Baqarah: 223)
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(QS. Al-Baqarah: 286)
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi: 29)
Beriman kepada Takdir Tidaklah Menafikan Melakukan Sebab
Dalilnya adalah firman Allah,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰۚ
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”(QS. Al-Baqarah: 197)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Ghafir: 60)
Bermaksiat Lalu Beralasan dengan Takdir
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak boleh beralasan dengan takdir untuk maksiat. Jika dibolehkan, tentu semua yang bunuh diri beralasan dengan takdir ilahi. Begitu pula mencuri dan melakukan kerusakan lainnya, semua bisa beralasan dengan takdir.” (Majmu‘ah Al-Fatawa, 8:179)
Di antara alasan lainnya disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, beliau berkata, “Takdir adalah rahasia ilahi. Kita sebagai makhluk hanya bisa mengetahuinya setelah takdir itu terealisasi. Dan itu diketahui setelah manusia mengalami yang terjadi di masa lampau. Itu sama saja ia tidak mengimani takdir dengan benar. Oleh karenanya, jika ada yang berargumen atas maksiatnya bahwasanya itu adalah takdir ilahi, itu alasan yang keliru. Karena sama saja ia mengklaim mengetahui yang ghaib. Padahal perkara ghaib hanya diketahui oleh Allah. Walhasil, argumen sebenarnya memuat kontradiksi. Dan tidak boleh seseorang berargumen dengan sesuatu yang ia tidak ketahui (takdir itu baru diketahui manusia setelah takdir itu terjadi).”
Syaikh Muhammad Al-Hamd juga berkata, “Seandainya maksiat boleh dilakukan lantaran itu sudah jadi takdir, maka itu sama saja menafikan berbagai syari’at (hukum Islam).” Lihat Al–Iman bi Al-Qadha’ wa Al-Qadr, hlm. 130.
Hikmah Diciptakannya Iblis
Pertama: Untuk menunjukkan kalau Allah mampu menciptakan sesuatu yang berlawanan. Allah mampu menciptakan Jibril yang merupakan sebaik-baiknya makhluk, maka demikian pula Allah mampu menciptakan Iblis yang merupakan sejelek-jeleknya makhluk.
Kedua: Supaya tingkat kehambaan manusia semakin sempurna dengan berjuang melawan iblis dan kroni-kroninya.
Ketiga: Iblis diciptakan sebagai ujian untuk menguji manakah yang jelek, manakah yang baik.
Keempat: Supaya nampak jejak (atsar) dari nama-nama Allah yaitu Allah itu Ar-Roofi’ (Yang meninggikan) dan Al-Khafidh (Yang merendahkan).
Kelima: Supaya keluar watak manusia dari yang baik dan buruk.
Keenam: Suapaya nampak tanda-tanda kuasa Allah bagi pelaku kekufuran seperti kebinasaan pada kaum Tsamud dan Luth.
Hikmah Allah Menetapkan Musibah
Pertama: Musibah itu sebagai ujian, siapakah yang mampu bersabar.
Kedua: Untuk membersihkan hati manusia dan supaya lepas dari sifat-sifat buruk karena ketika musibah datang, maka kesombongan, ujub, hasad berubah menjadi ketundukan kepada Allah.
Ketiga: Iman seorang mukmin menjadi kuat.
Keempat: Musibah menunjukkan kuatnya Allah dan lemahnya manusia.
Kelima: Dengan adanya musibah, kita jadi semangat berdoa dengan ikhlas.
Keenam: Musibah itu untuk membangunkan seseorang yang sedang lalai.
Ketujuh: Nikmat itu baru dirasakan kalau kita mengetahui lawannya. Kita baru rasakan nikmat sehat ketika kita mendapatkan sakit.
Kedelapan: Ada penyakit yang datang malah jadi sebab kita selamat dari penyakit yang lain.
Kesembilan: Adanya musibah, membuat lainnya mengasihi yang terkena musibah dan Allah memerintahkan kita untuk menyayangi orang yang di muka bumi, maka kita akan dikasihi oleh Allah Yang Mahatinggi di atas sana.
Kesepuluh: Musibah itu jalan hidayah.
Kesebelas: Musibah itu jadi ladang pahala.
Keduabelas: Musibah menunjukkan bahwa dunia itu rendah dan hina.
Ketigabelas: Allah Mahatahu yang terbaik untuk hamba dibanding dengan pengetahuan hamba itu sendiri pada dirinya.
Keempatbelas: Kita tidak tahu akhir urusan kita seperti apa.
Kelimabelas: Orang yang mendapatkan musibah akan masuk dalam golongan orang yang dicintai Allah.
Keenambelas: Sesuatu yang Allah benci bisa jadi datang dengan sesuatu yang kita sukai, sesuatu yang Allah sukai bisa jadi datang dengan sesuatu yang kita benci.
Demikian pelajaran penting tentang takdir. Alhamdulillah, dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Referensi:
- Al–Iman bi Al-Qadha’ wa Al-Qadr. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh Dr. Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd. Penerbit Dar Ibnu Khuzaimah.
- Iidhah Syarh As-Sunnah lil Muzani. Cetakan Tahun 1439 H. Syaikh Dr. Muhammad ‘Umar Salim Bazmul. Penerbit Dar Al-Mirats An-Nabawi.
- Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
- Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Ahmad bin ‘Abdul Halim Al-Harrani. Penerbit Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm.
—
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc.
Artikel Rumaysho.Com